Oleh: Guntur Subagja |
“Orang bilang tanah kita tanah surga… Tongkat kayu dan batu jadi tanaman…” Era tahun 80-an lagu Koes Plus ini sangat populer. Lirik lagunya menggambarkan kekayaan alam Indonesia dan kesuburan lahannya. Dinyanyikan dengan riang gembira. Namun, nyatanya pertanian Indonesia tidak seindah lagu tersebut.
Indonesia memang negeri tropis yang memiliki lahan subur. Namun sampai saat ini bangsa berpenduduk sekitr 260 juta jiwa ini masih belum mandiri di sektor pangan. Impor sektor pertanian masih tinggi, termasuk bahan pangan utama (beras) yang menjadi sumber pangan utama rakyat Nusantara.
Indonesia memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Menurut data statistik Kementerian Pertanian (2016), luas lahan pertanian Indonesia total sekitar 36,7 juta hektar. Terdiri dari 8,2 juta hektar saah, 11,5 juta hektar tegal/kebun, dan sekitar 5 juta hektar ladang/huma. Sedangkan sisanya hampir 12 juta hektar adalah lahan pertanian terlantar, alias tidak diusahakan.
Luas areal lahan pertanian ini memang terus menyusut tergusur sektor industri dan pemukiman. Dalam kurun waktu 5 tahun, penyusutan lahan pertanian mencapai 3 juta hektar. Bila pada tahun 2012 luas total lahan pertanian masih 39,6 juta hektar, berkurang pada 2015 menjadi 37,5 juta hektar dan menurun lagi pada 2016 menjadi 36,7 juta hektar.
Tidak dipungkiri pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan industri begitu pesat. Sejumlah lahan produktif tergurus oleh pemukiman dan industri. Lihat saja misalnya di sepanjang jalan tol mulai dari Jakarta sampai Pantai Utara, hamparan sawah terus terkikis tertutup beton-beton hunian dan pabrik. Penyusutan lahan pertanian (sawah) terbesar terjadi di DKI Jakarta (menyusut 10 persen) dan Kalimantan Utara (menyusut 4,3 persen).
Meski Indonesia menghadapi ledakan penduduk dan industri, dengan manajemen tata ruang yang baik, lahan dan sumber daya pertanian yang merupakan sumber pangan penduduk Nusantara, semestinya dapat dipertahankan, bahkan terus ditingkatkan.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan nasional juga terus meningkat. Di satu sisi, menurut data-data dari Kementerian Pertanian, produksi pangan utama (padi) dari tahun ke tahun meningkat tajam. Pada tahun 2017, diprediksi produksi padi nasional mencapai 81 juta ton yang dihasilkan dari lahan pertanian padi seluas 15,788 juta hektar. Produksi padi ini tumbuh 2,56 persen dibandingkan tahun sebelumnya (2016) sejumlah 79,382 juta ton. Dan peningkatan ini sangat signifikan dibandingkan produksi pada 2014 yang hanya 70,846 juta ton.
Begitu pula produksi palawija Indonesia, yang menurut Data Statistik Pertanian 2017, meningkat tajam. Produksi jagung, bila pada 2013 sebanyak 18,5 juta ton, naik pada 2017 mencapai 27,9 juta ton. Namun produksi palawija lainnya mengalami penurunan drastis. Produksi kedelai 2017 sebesar 542 ribu ton, padahal sebelumnya780 ribu ton (2013). Kacang tanah menurun dari 702 ribu ton (2013) menjadi 480 ribu ton. Ubi kayu turun dari 23,9 juta ton menjadi hanya 19 juta ton. Ubi jalar turun dari 2,387 juta ton menjadi 2,023 juta ton. Produksi kacang hijau mengalami kenaikan sedikit dari 205 ribu ton (2013) menjadi 244 ribu ton pada 2017.
Kendati produksi padi meningkat signifikan, ternyata Indonesia masih mengimpor besar untuk konsumsi masyarakatnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sepanjang Januari – Oktober 2017, Indonesia mengimpor besar sebanyak 256,56 ribu ton. Sementara pada tahun sebelumnya, impor beras mencapai 1.28 juta ton (Januari – Desember 2016). Dan kondisi sungguh memprihatinkan pada 2018 impor beras yang sudah ditetapkan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia sebesar 2 juta ton. Dalam tahun ini, pemerintah sudah mengeluaskan tiga kali ijin impor beras. Pertama bulan Januari sebanyak 500 ribu ton, tahap kedua sejumlah 500 ribu ton. Dan pada bulan Agustus 2018 Rapat Koordinasi instansi terkait memutuskan menambah impor beras sebanyak 1 juta ton. Impor tersebut dilaksanakan oleh BUMN Perum Bulog.
Jadi kemana hasil produksi padi yang mencapai 81 juta ton? Menurut catatan Kementerian Pertanian, konsumsi beras nasional pada 2015 sekitar 33 juta ton, sementara pada 2013 konsumsi beras sempat nyaris mencapai 40 juta ton. Sementara produksi beras Indoesia, bila merujuk pada laju konversi gabah kering giling menjadi beras sebesar 62,74 persen, maka pada tahun 2017 produksi beras Indonesia secara perhitungan tersebut adalah 50,8 juta ton. Sementara konsumsi beras nasiona berkisar 40 juta ton. Kemana surplus beras sebanyak 10 juta ton? Mengapa masih mengimpor beras hingga 2 juta ton?
Data-data inilah yang menjadi pertanyaan kita. Pertama, apakah data produksi padi sudah sesuai dengan realnya? Kedua apakah saat proses panen, distribusi dan produksi sudah diperhitungkan beras yang tercecer berapa persen? Ketiga, apakah ada mafia beras yang memaksakan beras impor masuk ke Indonesia karena ada selisih keuntungan uang diperoleh. Bila mafia impor memperoleh keuntungan Rp. 1.000,- per kilogram dari beras impor, maka duit dari selisih keuntungan saja sudah mencapai Rp 2 triliun rupiah. Wowww!
Ironis! Tampaknya bukan hanya hitung-hitungan data produksi padi untuk mencermati pangan nasional Indonesia. Lebih dari itu harus dirunut lebih detil mengenai manajemen perberasan nasional, mulai hasil produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi secara terintegrasi. Perbedaan data berbagai lembaga pemerintah saat ini menunjukkan bahwa terjadi kesimpangsiuran akurasi data.
Pasca Pemilu 2019, ada momentum untuk membenahi manajemen pangan nasional, baik oleh calon presiden pertahana maupun calon presiden oposisi bersama para calon wakil presidennya. Kedua pasangan kandidat semestinya menawarkan solusi manajemen pangan nasional sehingga Indonesia dapat berdikari dan berdaulat pangan. Semoga!
***
*Guntur Subagja adalahh Chairman Indostrategic Advisory. Ia juga Ketua Umum Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani), Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Sekolah Pascasarjana, serta peminat ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik.