Oleh: Sultani, Peneliti Indonesia Strategic Center (ISC), dan CSPS UI

Penyuluh kesehatan sebagai ujung tombak Pemda dalam penurunan stunting di daerah.
Sumber: Unicef.org

Hari-hari ini semua mata rakyat Indonesia sedang tertuju pada kampanye para tokoh yang mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah. Mereka akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah langsung yang diselenggarakan serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Di balik gempita pilkada tersebut, para calon kepala daerah ini perlu mempersiapkan strategi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di daerahnya jika mereka terpilih sebagai pemenang. Ribuan rakyat di daerah sudah menanti pemimpin baru mereka untuk segera menyelesaikan isu-isu sensitif yang sudah lama menjadi problem lokal.

Stunting merupakan problem lama yang selalu menjadi isu sensitif bagi para kepala daerah baru, terutama di daerah-daerah yang prevelansi stuntingnya tinggi dan intensitas temuannya banyak. Beberapa daerah yang kerap disoroti media karena temuan stuntingnya yang intens menjadi bukti bahwa stunting menjadi problem masih sulit di daerah.

Kabupaten Asmat misalnya. Di daerah ini, stunting atau kondisi kekurangan gizi kronis yang menghambat pertumbuhan anak masih menjadi masalah serius. Menurut data orientasi penguatan pencatatan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM), angka stunting di Kabupaten Asmat tahun 2024 mencapai 26,4 persen, atau setara dengan 1.080 dari 4.085 balita.

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan angka prevalensi balita stunting di Kabupaten Asmat mencapai 54,5 persen. Angka tersebut melonjak 16,4 poin persentase dari tahun sebelumnya yang sebesar 38,1 persen.

Penyebab tingginya stunting di Asmat ini terbilang kompleks dan berlapis. Penyebab terbanyak adalah kurangnya edukasi mengenai pentingnya gizi seimbang membuat banyak orangtua tidak mengetahui cara memberikan asupan yang tepat bagi anak-anak mereka. Banyak keluarga yang belum memahami pentingnya memberikan asupan gizi yang cukup bagi anak-anak mereka. Akibatnya, pola makan yang tidak sehat dan kurangnya variasi makanan menjadi hal yang umum di kalangan masyarakat Asmat.

Penyebab selanjutnya adalah infrastruktur yang kurang memadai. Wilayah Asmat sudah lama dikenal sulit dijangkau karena kondisi geografisnya yang berat untuk dilalui alat transportasi. Beberapa wilayah hanya bisa dijangkau melalui jalur air dengan perahu yang memakan waktu dan biaya tinggi membuat distribusi makanan bergizi, seperti sayur, buah, dan protein hewani, menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar warga.

Gambaran kondisi medan di Kabupaten Asmat.
Sumber: bbc.com

Penyebab lain yang ikut memicu tingginya stunting adalah sanitasi yang buruk dan akses terbatas ke layanan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan tingginya angka penyakit infeksi yang dapat mengganggu penyerapan nutrisi pada anak. Pangkal dari keterbatasan fasilitas kesehatan adalah kemiskinan.

Stunting di Asmat pertama kali disoroti pada 2018 ketika Bupati Asmat Elisa Kambu menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat sejak 9 Januari 2018. Penetapan status KLB tersebut dipicu oleh terungkapnya kematian massal oleh Keuskupan Agats saat berkunjung ke sana pada akhir Desember 2017.

Dari kasus ini lalu terungkap 651 orang mengidap campak dan 223 orang menderita gizi buruk sejak September 2017. Sebanyak 72 di antaranya meninggal. Kasus stunting di Asmat mulai mereda ketika Bupati Asmat mencabut status KLB pada 6 Februari 2018. (Tempo, 18/2/2018).

Peta Stunting Provinsi

Kasus stunting di Kabupaten Asmat menjadi model manajemen program penurunan stunting yang masih terkendala oleh keterbatasan kualitas SDM, pangan, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur di daerah. Semakin kompleks keterbatasan daerah semakin tinggi potensi prevalensi stuntingnya. Daerah-daerah dengan keterbatasan seperti Kabupaten Asmat, baik di Papua maupun di luar Papua memiliki prevalensi stunting yang tinggi.

Mengacu pada data Survei Kesehatan Indonesia Tahun 2023, di daerah-daerah pemekaran di Papua pada umumnya memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen, jauh di atas prevalensi nasional. Provinsi Papua Tengah mencatat prevalensi stunting 39,4 persen dan menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Papua dan Indonesia. Sementara 2 provinsi pemekaran lainnya, yaitu Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya menempati posisi “5 Besar” prevalensi stunting di Indonesia (bersama Papua Tengah, NTT, dan Sulawesi Barat).

Sumber: Sekretariat Wakil Presiden/stunting.go.id

Jika dilihat secara umum, peta prevalensi stunting berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 membagi sebaran prevalensi stunting menjadi dua kelompok provinsi yang memiliki perbedaan prevalensi secara ekstrem dengan prevalensi nasional, yaitu kelompok provinsi yang mempunyai prevalensi di bawah 20 persen dan kelompok provinsi yang mempunyai prevalensi di atas 30 persen. Kelompok pertama adalah provinsi Bali, Jambi, Lampung, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sumatera Utara. Sedangkan kelompok kedua adalah provinsi Papua Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Sulawesi Barat.

Data prevalensi stunting tahun 2023 tersebut jika dibaca secara dinamis dengan menghitung pertumbuhan prevalensi selama lima tahun terakhir, peta yang terbentuk akan berbeda lagi. Mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan SKI 2023 yang menghitung pertumbuhan prevalensi stunting di seluruh provinsi, tren pertumbuhannya lebih banyak yang menurun. Peta prevalensi stunting bisa dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu peta pertumbuhan prevalensi berdasarkan hasil riset dan berdasarkan penurunan prevalensi nasional.

Peta prevalensi stunting berdasarkan hasil Riskesdas 2018 dan SKI 2023 mencatat, sebanyak 32  provinsi mengalami penurunan stunting, hanya Provinsi Sulawesi Tenggara yang mengalami kenaikan sebesar 1,3 persen poin. Provinsi lainnya, yaitu DKI Jakarta mengalami stagasi, sementara 4 provinsi pemekaran di Papua (Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya dan Papua Selatan) tidak dapat dibandingkan karena merupakan provinsi yang baru dibentuk pada tahun 2023.

Sementara dibandingkan dengan penurunan prevalensi tingkat nasional, sebanyak 13 provinsi mengalami penurunan lebih tinggi dari tingkat nasional. Lima provinsi dengan penurunan prevalensi tertinggi dalam lima tahun adalah Nusa Tenggara Barat sebesar 18,9 persen poin; Jambi 16,7 persen poin; Jawa Timur 15,1 persen poin; Bali 14,7 persen poin; dan Riau 13,8 persen poin (Setwapres, 2024)

Sumber: Sekretariat Wakil Presiden/Stunting.go.id

Secara umum, peta pergeseran prevalensi stunting di seluruh provinsi menunjukkan penurunan yang relatif signifikan, karena trennya masih didominasi pada angka 20-29,9 persen. Sedangkan prevalensi di atasnya sudah berkurang. Tren yang menggembirakan adalah mulai muncul provinsi dengan proporsi prevalensi antara 0-19,9 persen.

Sumber: Sekretariat Wakil Presiden/Stunting.go.id

Pemda Sebagai Garda Utama

Penanganan stunting di Indonesia menghadapi tantangan yang bersifat multi sektor sehingga dibutuhkan pendekatan kolektif di mana pemerintah pusat dan daerah bekerja bersama-sama untuk mencari solusi yang komprehensif. Pemda adalah aktor pelaksana yang bertanggung jawab atas implementasi kebijakan di lapangan. Program pengentasan stunting yang ditetapkan sebagai prioritas nasional, keberhasilannya bergantung pada bagaimana pemerintah daerah mengimplementasikan program tersebut sesuai dengan kondisi lokal.

Kapasitas Pemda dalam hal perencanaan, manajemen, dan implementasi kebijakan pembangunan bisa menjadi aset untuk mengimplementasikan program penurunan stunting di daerah. Pemerintah pusat perlu memberi akses erhadap sumber daya pengetahuan, teknologi, dan kebijakan bagi Pemda sehingga mereka dapat lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya yang berkaitan dengan penurunan stunting.

Peran Pemda sebagai garda terdepan dalam penurunan stunting di daerah bisa memberikan kontribusi pada efisiensi dan efektivitas kebijakan sehingga bisa menghindari adanya duplikasi program, tumpang tindih kebijakan, atau ketidakefisienan alokasi anggaran.

Penguatan peran Pemda ini menjadi signifikan karena banyak masalah penurunan stunting di Indonesia bersifat lintas batas yang tidak bisa diintervensi langsung oleh pemerintah pusat. Dalam kasus ini, pemerintah harus memberi ruang kepada Pemda terkait untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah kolektif ini secara bersama-sama, dalam rangka menemukan solusi dan strategi untuk mengkoordinasikan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mengatasi tantangan bersama. Proses pengambilan keputusan kolektif dapat dipercepat dan kualitas solusi yang dihasilkan akan lebih baik karena melibatkan berbagai pihak yang terdampak.

Pemda berperan penting dalam penurunan stunting di daerah.
Sumber: antaranrews.com

Setiap tahun, Kantor Setwapres mengundang kepala daerah untuk memperoleh arahan langsung dari Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah TPPS dan para menteri terkait penurunan stunting. Pada forum tersebut juga sekaligus dilaksanakan penandatangan komitmen oleh masing-masing kepada daerah untuk melaksanakan percepatan penurunan stunting di wilayahnya.

Hasilnya, hingga tahun 2023 seluruh kepala daerah kabupaten/kota telah menandatangani komitmen bersama Kantor Sekretariat Wakil Presiden untuk melaksanakan percepatan penurunan stunting di wilayahnya. Sebagai tindak lanjut komitmen tersebut dilakukan pendampingan oleh Ditjend Bina Pembangunan Daerah untuk meningkatkan  kapasitas kepada daerah tentang pelaksanaan percepatan penurunan stunting.

Salah satu pendampingan tersebut adalah bantuan teknis oleh Kementerian Dalam Negeri berupa: penyediaan tenaga ahli pendampingan dan pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemda. Pendampingan bantuan teknis kepada  pemda diarahkan pada pelaksanaan delapan aksi konvergensi sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan pemda dalam penyelenggaraan percepatan penurunan stunting yang terintegrasi, efektif dan berkelanjutan.

Delapan Aksi Konvergensi yang harus dilakukan oleh daerah adalah: Analisis Situasi; Penyusunan Rencana Kegiatan; Rembuk Stunting; Penerbitan Perbup/Perwali tentang PPS; Pembinaan Pelaku dan Pemerintahan Desa/Kelurahan; Perbaikan Sistem Manajemen Data Stunting; Pengukuran dan Publikasi Stunting; dan Review Kinerja Tahunan.

Aksi Konvergensi ini memberikan ruang dan wewenang kepada Pemda untuk membuat strategi kebijakan dalam menganalisis situasi, menyusun rencana kegiatan, menerbitkan Perbup/Perwali, membina pelaku dan Pemerintahan Desa/Kelurahan, hingga review secara otonom. Dengan delapan Aksi Konvergensi tersebut pemerintah pusat telah menempatkan Pemda sebagai garda utama dalam penurunan stunting di daerah. Delapan Aksi Konvergensi ini akan menjadi senjata bagi para kepala daerah baru membuat gebrakan untuk menurunkan stunting di daerahnya masing-masing.

 

 

LEAVE A REPLY