Guntur Subagja Mahardika, S.Sos., M.Si., CWC., C.EML.

Ketua Umum Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI) / Ketua Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Bumi sedang mengalami ancaman berat. Kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana, areal hutan terus menciut, gunung-gunung terkikis, sungai dan laut tercemar. Dampaknya, adalah bencana besar bagi umat manusia. Perubahan iklim, pemanasan global, banjir, longsor, dan kekeringan, adalah akibat buruk dari kerusakan alam.

Data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan konbsentrasi gas rumah kaca berada pada level tertinggi dalam kurun waktu 2 juta tahun. Dan emisi terus meningkat. Akibatnya bumi sekarang lebih hangat 1,1 derajat Celcius dibandingkan tahun 1.800-an. Periode 2011-2020 adalah rekor terpanas di bumi. (Indonesia.un.org/id)

Sepintas, perubahan iklim seakan-akan semata-mata hanya membuat suhu semakin hangat. Perubahan suhu hanya gejala awal dari ancaman bencana-bencana lainnya. Diantaranya, permukaan laut mengalami kenaikan, es di kutub mencair, banjir, kekeringan, kebakaran hebat, badai dahsyat, dan berkurangnya keanekaragaman hayati.

Laporan PBB tahun 2018, ribuan ilmuwan dan peninjau pemerintah sepakat bahwa membatasi kenaikan suhu global tidak lebih daari 1,5 derajat celcius akan membantu kita menghindari dampak iklim terburuk dan mempertahankan iklim yang layak huni,. Namun jalur emisi karbon dioksida saat ini dapat meningkatkan suhu global sebanyak 4,4% pada akhir abad ini.

Badan  Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan dana becnana alam pada 2024 mencapai 1.904 bencana. Sebanyak 957 bencana banjir, 405 bencana cuaca ekstrem, 118 tanah longsor, 336 kebakaran hutan, 54 kekeringan, 12 gelombang pasang dan abrasi, 17 gemba bumi, dan 5 erupsi gunung api. (gis.bnpb.go.id, data tanggal 9 Desember 2024)

Mengapa terjadi? Karena manusia yang hidup di muka bumi tidak memanfaatkan dan merawat alam dengan baik. Ekspoitasi berlebihan tanpa menjaga kelestariannya untuk kepentingan jangka pendek dengan motif keserakahan ekonomi, tanpa (atau) disadari telah merusak masa depan kehidupan manusia itu sendiri.

Industrialisasi menjadi pemicu utama yang mempercepat kerusakan alam. Tumbuhnya kapitalisme di belahan dunia dan perkembangan teknologi yang tidak ramah lingkungan, melahirkan beragam aktivitas ekonomi yang mengeksplotasi alam besar-besaran. Sumber daya alam di belahan bumi yang berlimpah dengan kearifannya masing-masing sudah sekian abad menjadi obyek kapitalisme dan keserakahan para penguasa kapital. Siapa yang menguasai sumber daya alam, itulah penguasa dunia saat ini.

Kita memahami penduduk bumi terus bertambah. Dengan jumlah warga dunia delapan miliar orang lebih saat ini, tentu kebutuhan akan hunian (pemukiman), makanan (food), dan lapangan pekerjaan (industri) besar. Lahan-lahan hutan dan pertanian terus tergerus karena kebutuhan pemukiman, industri, dan fasilitas lainnya untuk manusia. Produk-produk yang tidak ramah lingkungan memperparah kerusakan dan pencemaran udara, tanah, dan laut. Produk yang dari bahan-bahan kimia buatan itu tidak mudah terurai. Misalnya, plastik yang dibuang sebagai sampah, baru bisa terurai di tanah setelah ratusan tahun. Dengan realita ini, bencana makin besar mengancam bang-bangsa di dunia. Pola hidup tidak ramah lingkungan ini juga mengganggu kesehatan kita.

Apa yang harus kita lakukan? Langkah kecil individual akan menjadi solusi merawat alam. Mulai mengubah mindset (paradigma) dari diri kita sendiri. Mulai dengan bergaya hidup ramah  lingkungan, bagun hunian ramah lingkungan, tidak membuang sampah yang mencemari dan melakukan daur ulang sampah, dan tanam pohon di lahan di halaman rumah kita.

Untuk konsumsi, saatnya makanan sehat alami bebas pestisida dan bahan kimia. Sumber makanannya dari pertanian alami. Sebagaimana yang disampaikan Iskandar Waroruntu, pemilik Bumi Langit Institute yang menjadi narasumber dalam Short Course Certified of Environmental Management Leadership (CEML) mengulas pertanian permaculture, yaitu pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan lingkungan.

Langkah-langkah kecil ini dapat menjadi langkah kolektif yang menjadi bola salju menjadi gerakan gaya hidup ramah lingkungan yang semakin besar. Berkembang, dari individu ke komunitas, meluas ke bangsa dan negara, hingga menjadi gaya hidup warga dunia.

Mari kita muliakan alam untuk kehidupan lebih baik. Mulai dari diri kita sendiri. Mulai hari ini! *

Sumber: Arttikel ini dipublikasikan pada webiste: www.apsk.or.id/berita/

 

LEAVE A REPLY