INDONESIAREVIEW.ID – Indonesia mengalami krisis regenerasi petani dan berpotensi dalam 50 tahun kedepan profesi petani punah. “Jumlah petani di bawah usia 25 tahun tidak mencapai satu persen, usia 25 – 30 tahun pun tidak mencapai lima persen dan jumlah mayoritas petani ada di atas 45 tahun,” ujar ketua umum Intani, Guntur Subagja saat menyampaikan pengantarnya sebagai pembuka webinar inspirasi bisnis Intani seri ke 58 (09/02).

Webinar dengan judul “Berkebun Hidroponik & Kopi, Petani Milenial Raup Jutaan Rupiah” ini menghadirkan tokoh muda inspiratif, Muhammad Salahudin atau akrab disapa kang Dede. Ia merupakan owner Pohaci Farm dari Nagrak Utara, Sukabumi, Jawa Barat. “Kang Dede bisa menjadi tokoh penggerak petani milenial dengan sistem urban farming, maka lebih banyak pemuda yang tertarik terjun ke pertanian. Sehingga ke depannya para pemuda di desa mampu jadi penggerak pembangunan ekonomi di daerah masing-masing,” tutur  Guntur mengapresiasi dan memberi semangat.

Kang Dede tidak memiliki latar belakang sebagai petani, tapi karena kecintaannya terhadap kampung halaman di Sukabumi dengan banyaknya lahan pertanian maka ia tergerak untuk terjun ke sektor pertanian.

“Awalnya mulai bertani tahun 2020, pertama belajar otodidak membuat green house kecil-kecilan di rumah. Setelah 4 bulan, sudah merasa settle, baru saya mulai buat green house skala lebih besar,” ujar kang Dede mengawali ceritanya.

Dengan modal awal 150 juta untuk membangun green house dan produksi, ia menargetkan balik modal dua tahun setengah. “Untuk modal dari pribadi, belum ada bantuan pemerintah. Alhamdulillah sudah balik modal dalam dua tahun, lebih cepat dari target.”

Webinar inspirasi bisnis Intani #58 ditayangkan secara live streaming di TANI TV (https://youtu.be/k-DpELGPz0I)

Petani milenial berusia 28 tahun itu pun melanjutkan ceritanya, “untuk saat ini  sudah memiliki 6 green house, terdiri dari 4 green house untuk budidaya melon  dan 2 green house untuk budidaya sayuran seperti caisim, pakcoy, selada, bayam, kailan, kale serta pagoda. Untuk pengelolaan kopi saya bermitra dengan para petani kopi yang ada disana,”.

“Setiap green house itu ada yang luasnya 1.000 mdan 600 mjadi kalau ditotal sekitar setengah hektar. Untuk lahan saya sewa dari masyarakat sekitar, karena banyak lahan yang tidak dimanfaatkan di sana. Masa sewanya sendiri ada yang 5 tahun dan 10 tahun,” imbuh Kang Dede.

Pemasaran awal, dari rumah ke rumah hingga sekarang sudah ke berbagai restauran dan pasar swalayan serta pasar di Jabodetabek. Penggunaan media sosial menjadi sangat penting dalam promosi sehingga mampu menjangkau pasar yang lebih luas.

Ila Failani, selaku host webinar mengulik lebih jauh bagaimana kang Dede mampu survive di tengah pandemi serta sistem pengelolaan kopinya seperti apa. “Ada rasa stres juga waktu pandemi, produksi melimpah tapi tidak ada pasar yang menyerap. Namun kami tetap berusaha mencari pasar baru, Alhamdulillah ada jalannya. Jadi kuncinya tetap semangat dan berusaha,” ujar kang Dede.

Kang Dede bercerita untuk awal mengelola kopi karena ada salah satu anggota Pohaci Farm dengan latar belakang barista lalu melihat potensi kopi di sana yang bisa dikembangkan menjadi besar. “Kami sebagai mitra para petani kopi, membantu untuk pengemasan, promosi hingga pemasaran. Untuk pemasaran Kopi Sinagar sendiri sudah sampai ke Thailand dan eropa seperti, Itali, Perancis, dan Belanda.”

Sebagai penutup kang Dede berharap program pemerintah dalam rangka mencetak para petani milenial agar lebih tepat sasaran. “Saat ini banyak program pemerintah yang asal memberikan bantuan tanpa melihat latar belakang penerima. Seharusnya didata, bantuan didahulukan bagi para petani muda yang sudah merintis lalu didampingi PPL sekitar. Sehingga kedepannya program tersebut bisa sukses dan lebih banyak mencetak petani milenial,” pungkasnya.* (na-ir)

LEAVE A REPLY