Foto: ist/rri.co.id

Oleh: Joko Intarto –

Saya bukan peternak ayam. Saya hanya penyuka ayam goreng, ayam bakar, ayam panggang dan ayam kuah: khususnya pindang dengan bumbu kluwek.

Meski demikian, saya sedih dan prihatin. Nasib para peternak hari ini ternyata tidak segurih daging ayam yang saya makan.

Apalagi setelah membaca selebaran dari perkumpulan peternak ayam di Jogja.

Bayangkan, para peternak itu sampai membuat aksi bagi-bagi ayam gratis. Jumlahnya pun lumayan banyak: 5 ribu ekor.

Saking frustasinya.

Harga jual ayam anjlok. Tidak terserap pasar pula!

Apakah ini drama lanjutan dari persaingan antara peternak industri dan peternak rakyat? Entahlah.

Dua tahun lalu saya mampir di sebuah dua lokasi kandang ayam berskala besar di Slawi, Jawa Tengah. Di lereng gunung Slamet.

Kandang yang saya kunjungi berada di dua lokasi. Kandang pertama sangat modern. Berangka baja. Berlantai tiga. Saat itu pembangunannya belum sampai 30 persen. Kelak kandang itu bisa menampung 1 juta ekor ayam.

Kandang kedua tampak sederhana. Berlantai satu. Berangka kayu. Berdinding anyaman bambu dengan lapisan plastik. Meski terlihat sederhana, sejatinya kandang itu sudah modern. Secara sistem.

Kandang sudah dilengkapi dengan sistem pengendali suhu. Kalau terlalu dingin, mesin penghangat udara akan bekerja otomatis. Kalau kepanasan, mesin pendingin udara juga bekerja otomatis.

Ada juga mesin pemberi pakan otomatis. Bekerja dengan timer. Jam berapa ayam harus makan dan berapa lama durasi dengan jadwal makan selanjutnya. Semua dikendalikan dengan perangkat elektronik. Ada petugas ahlinya.

Kandang baru dan kandang lama itu ternyata pemiliknya sama. Setelah sukses dengan kandang lama, pemiliknya memperbesar volume kandang di lokasi baru. Yang kapasitasnya 1 juta ekor itu.

Kunjungan saya ke kandang itu sebenarnya tidak sengaja. Ada kawansaya yang sedang berada di Tegal. Kebetulan saya di Semarang. Sekalian mau pulang ke Jakarta, saya mampir dulu di Tegal. Eh, diajaklah saya melihat kandang di Slawi itu.

Pemilik kandang ternyata kenalan saya. Ia pengusaha lokal. Asli dari desa itu. Tapi sering berada di Jakarta. Sering pula bertemu saya.

Sambil makan sate kambing muda yang kesohor di Tegal saat menunggu jadwal kereta api ke Jakarta, saya ngobrol cukup panjang dengan pemilik kandang. Saya ingin mendapat informasi tentang rahasia suksesnya memasarkan ayam potong. “Semua hasil panen kandang kami sudah ada pembelinya. Kami membuat kontrak kemitraan,” katanya mengawali cerita.

Dari cerita itulah akhirnya saya tahu, ada dua model peternakan ayam potong. Pertama peternakan kemitraan. Kedua peternakan rakyat. Dua kelompok ini hasil kesimpulan saya sendiri.

Peternakan kemitraan adalah peternakan yang terikat kontrak dengan pihak mitra. Siapa mitra itu? Ternyata tidak jauh-jauh. Mitra itu kelompok usaha hulu – hilir mulai pakan, bibit dan pemasok daging ayam potong.

Dengan adanya kontrak itu, peternak boleh dikata hanya punya lahan, kandang dan buruh kasar saja. Sedangkan bibit, pakan, obat, bahkan tenaga ahlinya disuplai mitranya. Semua hasil panen dibeli juga oleh mitranya untuk dipasarkan dalam bentuk daging ayam potong beku alias frozen.

Peternak rakyat berbeda. Peternak kelompok ini tidak punya mitra. Mereka menyediakan kandang dan tenaga ahli sendiri. membeli bibit sendiri. Membeli pakan sendiri. Menjalual hasil panen sendiri. Biasanya dijual dalam keadaan daging ayam segar atau fresh.

Dua model perlakuan pascapanen inilah yang menurut saya dalam jangka waktu tertentu bakal mengakibatkan masalah. Perkiraan saya, peternak rakyat pasti kalah kalau tidak ada yang mau menolong.

Matematikanya seperti ini. Peternak kemitraan dan peternak rakyat (saat itu) anggaplah berbagi kuota produksi masing-masing 50 persen.

Yang berbeda: Peternak mitra bisa menyimpan stok daging beku hingga 8 bulan. Sedangkan peternak rakyat hanya bisa menyimpan stok daging segar beberapa jam setelah dipotong.

Dengan pembekuan, peternak industri relatif tidak akan mengalami risiko fluktuasi harga. Kalau harga bagus karena peternak rakyat tidak bisa memenuhi suplai, stok dilepas. Kalau harga tidak bagus karena peternak rakyat kelebihan suplai, stoknya ditahan.

Pada saat menahan stok, kandang terus berproduksi. Jumlah stok otomatis makin banyak. Dengan postur seperti itu, posisi peternak memang kritis. Sewaktu-waktu bisa gulung tikar. Kalau stok daging frozen membanjiri pasar hingga beberapa bulan saja, peternak rakyat pasti kelimpungan.

Apalagi peternak rakyat umumnya modal cekak. Makin sulit untuk bertahan. Gagal dua atau tiga kali saja, bisa bangkrut dan tidak akan sanggup bangkit lagi.

Jadi bagaimana cara menolong peternak rakyat? Menurut saya, pemerintah harus membantu dengan menyediakan rumah potong ayam yang modern dan terintegrasi dengan cold storage agar peternak rakyat bisa menyimpan stok daging ayamnya.

Solusinya kok cuma minta peternak membagi-bagikan ayamnya kepada publik. Nasib…nasib..(jto)

*Penulis owner Sekolah Wira.

LEAVE A REPLY