Oleh: Erick Wahyudi, Analis  Ekonomi |

INDONESIAREVIEW.ID – Penjelasan Prof. Rhenald Kasali (PRK) tentang valuasi Gojek yang 14 kali lebih besar daripada Garuda membuat saya gagal paham. Ada beberapa poin yang saya ikut setuju, ada juga yang menurut saya agak menyesatkan.

Valuasi perusahaan by nature mirip dengan harga sebuah barang. Semuanya tergantung kesepakatan market. Sebuah batu akik misalnya, saat market sedang hot, nilainya 5 tahun lalu bisa puluhan juta. Sekarang dijual beberapa ratus ribu aja belum tentu ada yang beli. Harga pasar memang dibentuk oleh banyak hal, antara lain: nilai buku, proyeksi nilai ke depan, appetite investor, opini para analis ekonomi, serta hal-hal yang tidak terkait dengan fundamental bisnis, termasuk gosip, issue, halo effect dan lain-lain

Jadi menurut saya tidak perlu terlalu susah-susah menjelaskan secara ilmiah tentang valuasi Gojek yang nilainya astronomikal. Selama ada yang mau beli (atau mau investasi) dengan nilai sebesar itu, ya itu-lah patokan nilainya. Tidak perlu dicurigai ada bohong-bohongan, wong terbukti ada yang mau keluar duit sebesar itu kok. Kan dulu saja ada yang mau beli batu akik sampai milyaran.

Selama Gojek dan Unicorn2 lainnya belum IPO, di mana investornya lebih beragam dan penentuan valuasinya lebih democratized, kita tidak perlu terburu-buru komentar soal valuasi Gojek. Valuasinya adalah hasil transaksi dalam market yang relatif tertutup, terjadi di antara investor yang punya appetite serupa. Nilai valuasinya bukan sesuatu yang dapat menjadi patokan atau target bagi pemain bisnis digital lainnya.

Sebagai seorang tokoh yang opininya sangat berpengaruh, sebaiknya PRK bersikap lebih waspada terhadap fenomena ini ketimbang menjadi cheerleader. Kasus Uber misalnya, sebagai grandfather perusahaan ride-hailing, termasuk Gojek, saat ini nilai nya terus merosot hingga 30% lebih rendah daripada harga perdana saat IPO beberapa bulan lalu. Atau proyeksi nilai WeWork yang dipangkas setengahnya sebelum IPO karena mulai ada ketidakpercayaan terhadap model bisnisnya.

Argumen PRK bahwa Gojek memiliki intangible aset yang sangat besar yang tidak dapat dicatatkan dalam balance sheet menurut saya tidak bijaksana. Walaupun sifatnya intangible, seluruh aset yang diklaim dimiliki sebuah perusahaan pada gilirannya harus terefleksikan pada balance sheet. Nilai aset intangible sangat rentan, sehingga tidak bisa serta merta dapat diyakini memiliki nilai besar sebelum terbukti bisa menghasilkan profit yang diharapkan.

Argumen beliau selanjutnya tentang teori bisnis lama yang usang dan tidak relevan dengan bisnis digital juga saya anggap kurang bijaksana. Teori bisnis lama yang usang yang mana? Bahwa bisnis itu harus mendatangkan keuntungan, sampai kiamat pun tidak akan pernah usang. Bahwa bisnis digital memungkinkan cara-cara baru dalam menghasilkan produk dan layanan yang menggantikan cara lama, itu benar. Tapi kalau kemudian dikatakan bahwa Gojek membangun platform, membangun ekosistem, dan memiliki network effect, sehingga disimpulkan bahwa teori bisnis lama sudah usang, menurut saya terlalu simplistik. Mereka belum terbukti profitable dan bertahan, sehingga tidak bisa dikatakan teori bisnis lama sudah usang. Dan apabila terbukti berhasil, bisa jadi Gojek nantinya akan menguasai dan menjalankan bisnis-bisnis model lama (taxi, bank, dan lain-lain). Dan itu bukan karena inovasi bisnis digital. Tapi lebih karena kekuatan funding yang diraih dari “story telling” bisnis digital.

Terkait dengan penjelasan PRK tentang network effect (NFX) yang dimiliki Gojek juga kurang pas. NFX adalah kemampuan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi (penambahan nilai ekonomi) seiring dengan bertambahnya pengguna. NFX juga memungkinkan pengguna baru lebih mudah diakuisisi seiring dengan bertambahnya pihak yang telah masuk ke dalam ekosistem / platform bisnisnya.

Gojek jelas memiliki ekosistem (driver, pengguna, penyedia makanan, sistem pembayaran, dan segera: memiliki bank). Gojek juga memiliki (local) NFX, sehinga dapat menarik pengguna baru dengan bertambahnya layanan (karena menjaring lebih banyak pihak masuk ke dalam ekosistemnya). Tapi Gojek tidak memiliki NFX yang solid serta defensibilty-nya sangat rentan, sehingga hidupnya sangat tergantung dari funding yang didapatkan untuk mendapatkan skala yang besar. Skala yang besar ini yang kemudian menjadi senjata utama untuk mendominasi bisnis: akuisisi perusahaan lain, akuisisi talent, dan biaya promo yang tidak mampu dilakukan pemain lain. Eksistensinya sangat tergantung pada pertumbuhan dengan biaya yang sangat besar (growth at all cost), bukan karena memiliki NFX yang solid.

Hal ini berbeda sekali dengan WhatsApp (WA) atau Facebook (FB). WA (dan aplikasi chat lainnya) memiliki model bisns yang membuat orang terpaksa menggunakan WA untuk dapat berkomunikasi dengan pengguna WA lain yang jumlahnya sudah lebih besar. Demikian juga halnya dengan FB. Dominasi keduanya sangat tinggi karena NFX nya sangat solid. Mereka dapat menambah pengguna tanpa memerlukan penambahan investasi yang berbanding lurus. Cukup dengan menambah server, tidak perlu membakar uang untuk promo berlebihan (cash back, diskon, free ongkir, subsisdi driver, dll). Ditambah lagi, WA dan FB memiliki NFX global, sedangkan Gojek bersifat lokal: yaitu dalam radius beberapa kilometer, karena semuanya dibangun di atas layanan ride-hailing, kecuali Go-Pay.

Saya sebagai pengguna setia Gojek dan Gopay, terkadang menggunakan aplikasi pesaingnya (Grab dan OVO) apabila ada tawaran cashback dari OVO yang lebih menggiurkan. Tidak ada kekhawatiran sama sekali bagi saya untuk pindah aplikasi. Driver Gojek pun juga banyak yang merangkap sebagai driver Grab. Dan saya lebih sering memanggil langsung petugas Go-Clean tanpa memesan melalui aplikasi Go-Clean. Tidak banyak experience yang hilang apabila tidak menggunakan aplikasinya. Bayangkan apabila ada satu investor baru, dengan dana yang sangat besar ingin menghancurkan pasar: menggratiskan seluruh layanan. Sudah pasti customer (asset utama bagi perusahaan teknologi) akan segera pindah. Ini sudah dibuktikan di China dalam kasus Uber vs Didi.

Kita semua harus kritis dalam menanggapi fenomena yang ada. Valuasi Gojek yang 14 kali lebih besar daripada Garuda sah-sah saja. Sampai nantinya datang waktu pembuktian bahwa bisnisnya memang menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar daripada Garuda. Dan untuk membuktikan itu, sangat banyak faktor yang dapat menggagalkannya. Termasuk apabila investor berhenti menyuntikkan dana.

Untuk itu, daripada menjadi cheerleader, lebih baik para tokoh berpengaruh, dan juga pejabat pemerintah, fokus untuk mendorong pemikiran kritis para millenial yang terjun ke dalam bisnis digital. Bisnis digital pada akhirnya adalah bisnis as usual: menghasilkan profit. Bisnis digital perlu pemikiran super kritis, karena banyak faktor-faktor baru yang belum terdefinisikan sebelumnya, yang dapat menentukan berhasil atau gagal. Sangat berbahaya apabila mereka tergiring fokus pada gemerlap valuasi dan inovasi yang semu. *

–7 September 2019–

(znews)

LEAVE A REPLY