INDONESIAREVIEW.ID – Telur merupakan sumber protein tinggi dengan harga terjangkau, maka tidak heran telur menjadi primadona terlebih selama pandemi. “Konsumsi telur kita selama pandemi meningkat, berdasarkan data BPS pada tahun 2019 konsumsi telur 17 kg perkapita sedangkan selama pandemi meningkat menjadi 28 kg perkapita,” tutur Guntur Subagja, ketua umum Intani dalam pengantarnya di webinar inspirasi bisnis Intani seri ke 60 yang ditayangkan secara streaming di TANITV (https://youtu.be/dbqJXuEt9fA), Rabu (23/02).
Webinar dengan tema ‘Peternak Ayam, Sukses Telurkan Omzet Miliaran’ dipandu Aden Budi sebagai host serta menghadirkan Dio Viegas Latuinapitupulu, pemuda inspiratif berusia 27 tahun dari Lombok Utara, NTB yang merupakan owner PT. Dellamoer Jaya Agrisatwa dan membina lebih dari 20 peternak lokal dengan total 200 ribu ekor ayam petelur.
Lebih lanjut Guntur mengatakan, “Saat ini kita dipengaruhi tiga tren transformasi, pertama megatren yang ditandai revolusi 5.0 era digital society, lalu tranformasi di bidang teknologi & informasi, serta perubahan konsumen. Nah poin ke tiga inilah yang mempengaruhi masyarakat mengubah pola belanja dan konsumsi, termasuk konsumsi telur ayam ini.”
Produksi telur nasional mencapai lima juta ton pertahun, seimbang dengan konsumsi masyarakat yang tinggi. “Produsen telur ayam terbesar itu ada di pulau Jawa. Pertama di Jawa Timur dengan produksi mencapai 1,7 ton pertahun, diikuti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten serta 60% lainnya di luar pulau Jawa,” tutur Guntur.
“Menariknya NTB tidak masuk 10 besar. Namun Dio mau terjun ke bisnis ayam petelur, dalam strategi bisnis ini dinamakan blue ocean strategy yaitu masuk ke pasar yang masih kosong, tantangannya menarik tetapi peluangnya juga cukup luas,” ujar Guntur.
Harga telur ayam di pasaran yang fluktuatif, menjadi salah satu faktor banyak peternak ayam petelur gulung tikar. Ini disebabkan biaya produksi seperti pakan, vitamin dan lainnya yang tinggi. “Perlu dikembangkan industri pakan dengan kearifan lokal berkolaborasi bersama masyarakat. NTB merupakan penghasil jagung terbesar, yang merupakan salah satu bahan untuk pembuatan pakan. Sayangnya di NTB belum ada pabrik pakan, sehingga harus dikirim ke Jawa lagi,”.
Menurut Guntur, “Di sisi hulu ini lah yang kita lemah, membuat peternak menjadi ketergantungan suplai pakan. Maka kedepannya perlu dikembangkan pengolahan pakan yang lebih efisien sehingga mampu mandiri dan peternak bisa lebih survive menghadapi fluktuasi harga telur ayam.”
Dr. Marissa Grace Haque F., S.H, M.Hum, yang turut hadir dalam webinar ini ikut berkomentar agar Dio mengembangkan industri hilirnya sesuai strategi empat langkah BCG (Boston Consulting Group) yaitu ciptakan, hapuskan, tambahkan dan kurangkan. “Dio sudah melakukan tiga langkah: hapuskan, tambahkan dan kurangkan tinggal ciptakan added value dari telur ayam ini, buat dalam bebagai produk turunan. Untuk skalanya jangan hanya skala industri tetapi juga rumahan sehingga lebih luas lagi jangkauannya.”
Selaras dengan yang disampaikan Guntur, Dedi ‘Miing’ Gumelar turut menyoroti ketergantungan pakan produksi pabrik luar negeri yang ada di Indonesia. ”Dengan segala SDM yang dimiliki di Indonesia harusnya pemerintah mampu mendirikan pabrik pakan nasional. Sehingga ketergantungan peternak bisa diatasi dan mereka lebih sejahtera.”
Sebagai penutup, Guntur mengatakan “Seperti yang sudah Dio lakukan, ini menjadi momen untuk kita berkolaborasi membangun jejaring dengan masyarakat, sehingga masyarakat bisa menjadi peternak rumahan dengan skala ekonomi UMK. Intani hadir untuk menginspirasi anak muda supaya mau mengembangkan kekayaan sumber daya nasional sehingga kita bisa terlepas dari ketergantungan impor. Dan saya optimis dengan kehadiran Dio dan kawan-kawan dalam waktu dekat Indonesia mampu mandiri di sektor pangan.”* (na-ir)